Maulana Al Giyaest (STAIN SAMARINDA) Alamat : Jl.Cipto Mangunkusumo, Rt. 09 Loa Janan ilir Samarinda Seberang

Sabtu, 03 November 2012


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Muhammad Idris As-Syafi’i
Imam Syafi’i dilahirkan dikota Ghazzah Dalam Palestina pada tahun 105 Hijjriah. Tarikh inilah yang termasyhur dikalangan ahli sejarah. Ada pula yang mengatakan beliau dilahirkan di Asqalan yaitu sebuah wilayah yang jauhnya dari Ghazzah lebih kurang tiga kilometer dan tidak jauh juga dari Baitul Maqdis, dan ada juga pendapat yang mengatakan beliau dilahirkan dinegeri Yaman.
Yakut menceritakan bahwa Imam Syafi’i pernah menceritakan : aku dilahirkan dinegeri Yaman, ibuku bimbang aku tidak terurus, lalu dibawaku ke makkah, umur ku pada waktu itu kurang lebih 10 tahun.
Baca Selengkapnya

Untuk menyatukan antara pendapat-pendadapat tersebut di atas pernah dikatakan bahwa beliau dilahirkan di Ghazzaah dan dibesarkan di asqalan, dan penduduk Asqalan semuanya dari kabilah orang Yaman, dan inilah maksud bagi mereka yang mengatakan beliau dilahirkan di Yaman. Yakut telah menceritakanketiga riwayat tersebut kemudian katanya : tidak menjadi syak lagi bahwa Imam Syafii dilahirkan di Ghazzah, kemudian beliau berpindah ke asqalan dan tinggal disana sehingga remaja.
Nasab Keturunan Imam Syafi’i
 Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin As-Sya’ib Al-Qurasyi yang dikenal sebagai Imam Syafi, seorang yang cirri-ciri dirinya diidentifikasikan dengan perkataan agung, “Ulama Quraisyi yang ilmunya memenuhi semua permukaan bumi.
Dilihat dari segi waktu hidupnya, dia adalah imam ketiga dari imam empat yang terkenal. Akan tetapi, Imam Syafii diwaktu yang sama menjadi penengah yang menyimpulkan mereka karena ia memiliki jiwa yang senantiasa berkembang dan baru. Selain itu, disebabkan pula oleh pemikiran-pemikirannya dalam keputusan-keputusan fiqihnya, penanganannya dalam perkara-perkara agama, penelitiannya terhadap masalah-masalah yang diperdebatkan, dan keagresifannya terhadap bermacam-macam bentuk ilmu yang ada di zamannya[1].
Fiqih Imam Syafi’i
Ilmu fiqih Yang dibawa oleh  imam syafii’i adalah merupakan suatu zaman perkembangan fiqih dalam sejarah perundangan islam, oleh karena itu ia mengumpulkan atau menyatukan ilmu fiqih ahli-ahli akal dan fikih dengan ilmu fiqih ahli-ahli akal dan hadis ilmu fiqih imam syafi’I  merupakan ikatan sunnah dengan kias dan pemikiran dengan beberapa pertimbanngan, sebagaimana juga adalah ilmu fiqih yang menetapkan cara-cara atau peraturan untuk memahami Al-Qur’an dan hadis, dia juga menetapkan kaidah-kaidah pengeluaran hukum dan kesimpulanya, oleh karena itu beliau berhak dianggap sebagai penulis ilmu Ushul Fiqih[2]
   Ilmu fiqih dan mazhab Imam Syafii menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber yang pertama dalam menetapkan hukum-hukum dan perundangan, kemudian beliu berkata bahwa As-Sunnah adalah menyamai taraf Al-Qur’an, karena dia penerang dan penafsir dalam AL-Qura’an, oleh sebab itu beliau menganggapnya  sebagai sumber yang kedua setelah Al-Qur’an. Apabila didapati hadis yang benar disisnya beliau mengikutinya, beliau pernah berkata : Adakah bagi seseorang lain hujjah terhadap Rasulullah ? dan beliau berkata :  Apabila hadis itu benar (sah) maka ia adalah mazhabku[3].     
      Oleh karena itu imam syafii sangat  mengetahui kedudukan hadist-hadist, kita dapati beliau sangt bersungguh-sungguh untuk menghafal hadist sehingga Ibnu Farhun pernah berkata di dalam kitab “Ad-Dibajul Madahib” bahwa imam syafii adalah penghafal (hafiz) dan beliau menghafal kitab Al-Muwatta dalam tempo Sembilan malam. Sementara Muhammad bin Al-Hasan berkata : jika para ahli hadist bercakap-cakap maka percakapan mereka melalui lidah syafii.
      Fiqih Imam Syafii adalah kombinasi antara ahli logika, yaitu golongan Abu Hanifah dan fiqih ahli hadist, yaitu golongan Imam Malik. Pada setiap golongan ini terdapat jalan tersendiri dalam memahami, menalar, dan mengambil kesimpulan. Ahli logika, yaitu orang-orang yang berpegang pada teori, debat, kebebasan berfikir , dan penguasaan mencari cela dalam hadist-hadist dan sunnah yang terbatas. Adapun ahli hadist, yaitu mereka yang hafal hadist-hadist Rasulullah, menguasai berita-berita, cerita, dan perbuatan beliau. Akan tetapi, mereka bukan ahli dalam perdebatan dan pemahaman  yang mendalam. Maka wajib bagi ahli fiqih menguasai penggunaan hadist dan logika secara bersama[4].
      Imam Syafii adalah orang yang mempunyai kemampuan penalaran,debat, diskusi yang baik, dan daya pikir yang cepat, sebagaimana dapat kita ketahui dari cerita-cerita tentang beliau, selain itu, beliau juga mengetahui , hadist. Bahkan, dalam hal ini beliau telah membangunkan orang-orang dari kekangan (pemikiran) sehingga mereka terbangun. Beliaulah yang menempatkan mereka pada pusat sasaran yang terang sebagaimana telah dibicaran sebelum ini,. Ringkasnya, beliau adalah penolong hadist dan ini gelar yang telah di anugerahkan secara tepat, pantas, dan sesuai, oleh ulama dimasanya kepada beliau. Jadilah Imam Syafii yang menyatukan penguasaan ahli hadist dan ahli logika. Oleh karena itu, fiqihnya datang dalam gabungan dua madrasah. Dari sini Imam Syafii dinobatkan sebagai peletak ilmu Ushul Fiqih yang menjadi acuan dasar madrasahnya dan tiang mazhabnya.
      Fiqih Imam Syafii juga mengambail ijma’ sebagai dasar. Hal ini dilakukan karena syariat sendiri menganggapnya sebagai hujjah yang wajib digunakan. Maka ia menatapkan ukuran-ukuran yang mengaturnya dan pertimbanganyang menyikap kesalhan tuduhan orang yang berpegang langsung pdaa hasil, tanpa memiliki bukti kuat atau asas agama mapan. Dengan catatan bahwa Imam Syafii meletakan Ijma’ ( metode kompromi ) pada tingkatan Al-Qur’an dan sunnah serta tidak dapat mendahuluinya walaupun misalnya hadist itu hanya diriwayatkan oleh seorang perawi saja (Hadist ahad).
      Fiqih Imam Syafii juga mengambil kias sebagai dalil. Dalam hal ini, Imam Syafii adalah orang  pertama yang berbicara dengan kias ketika melihat para Fuqaha tidak meletakkan batasan antara logika yang benar dan yang salah. Maka imam syafii datang mendudukkan kaidah-kaidah untuk penalaran yang diyakini benar dan yang tidak benar. Oleh karena itu, ia menuliskan aturan-aturan kias dan tingkatan-tingkatannya, kuatnya fiqih yang diambil dari kias dan dibandingkan yang diambil dari nas, kemudian beliau menguraikan syarat-syarat yang wajib dipenuhioleh seorang ahli fiqih yang menggunakan kias. Ia juga menjelaskan adanya perbedaan yang jelas antara macam-macam istinbath (pengambilan kesimpulan) dan kias dalam batas-batas yang beliau tuliskan.
      Imam Syafii membatalkan istihsan. Dalam masalah ini beliau menyusun suatu kitab yang berjudul Ibthalul Istihsan. Istihsan adalah asas yang digunakan Abu Hanifah, seorang imam pendahulunya. Imam syafii mengatakan bahwa : “Istihsan adalah rasa enak, seandainya boleh mengambil Istihsan dalam masalah Agama, maka bolehlah hal itu bagi orang-orang yang punya akal yang bukan ahli ilmu, dan pasti juga boleh membuat Syariat dalam masalah agama pada setiap bab, sedang massing-masing orang dapat mengeluarkan hukum syara’ bagi dirinya[5] Kemudian Imam Syafii menguraikan alasan dan pandangan beliau tentang istihsan, seorang ahli fiqih yang menggunakan asas istihsan , yang dilakukannya ialah setelah merujuk pada Al-Qur’an , sunnah, atsar, ijma’, dan kias. Kadang-kadang yang diambilnya adalah yang dianggapnya baik, bukan keputusan yang ditinjukkan oleh dalil yang mucul dari Al-Qur’an dan sunnah. Selain itu, Imam Syafii juga menyampaikan alasan lain yang membatalkan metode istihsan. Ia menerangkan bahwa ijtihad dengan metode istihsan itu tidak berdasarkan pada dasar syariat atau nash dari Al-Qur’an dan sunnah. Oleh karena itu, ijtihad tersebut batal, selanjutnya kesimpulannya juga batal.
      Imam syafii sangat berhati-hati dalam usahanya untuk memilih atau menyempurnakan mazhabnya, disamping itu beliau adalah seorang yang tinggi ilmu pengetahuan dan tinggi pula cita-citanya. Dengan kebijaksanaannya beliau mampu menghimpun bermacam-macam ilmu pengetahuan serta memahaminya dengan bersungguh-sungguh dan teliti.[6]
Mazhab Syafi'i
Dasar madzhabnya: Al Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Beliau juga tidak mengambil Istihsan (menganggap baik suatu masalah) sebagai dasar madzhabnya, menolak maslahah mursalah, perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi’i mengatakan, “Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah menciptakan syariat,”. Penduduk Baghdad mengatakan, “Imam Syafi’i adalah nashirussunnah (pembela sunnah)”.

B.     Malik Bin Anas
Imam Malik yang kedua dari imam-imam empat serangkai dalam Islam dari segi umur. Ia dilahirkan 13 tahun sesudah kelahiran Abu Hanifah. Imam Malik ialah seorang imam dari Kota Madinah dan imam bagi penduduk Hijaz. Ia salah seorang dari ahli fiqih yang terakhir bagi kota Madinah dan juga yang terakhir bagi fuqaha Madinah. Beliau berumur hampir 90 tahun. semasa hidupnya beliau sebagai pejuang demi agama dan umat islam seluruhnya. Imam Malik dilahirkan pada zaman pemerintahan  Al - Walid bin Abdul Malik Al – Umawi
Imam Malik dilahirkan di suatu tempat yang bernama Zulmarwah di sebelah Utara ‘Al -  Madinatul – Munawwarah’. Kemudian beliau tinggal di ‘Al – Akik’ buat sementara waktu akhirnya beliau menetap di Madinah. Bermacam – macam pendapat ahli sejarah tentang tarikh kelahiran Imam Malik. Ada setengah pendapat yang mengatakan pada tahun 90, 94, 95 dan 97 Hijrah perselisihan tarikh terjadi sejak masa dahulu. Diceritakan bahwa ketika Ibu Malik mengangdung Malik dalam perutnya selama 2 tahun dan ada pula yang mengatakan 3 tahun[7].
Nasab Keturunan Imam Malik
      Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amru bin Ghaiman bin Huthail bin Amru bin Al-Haris. Datuknya yang kedua “Abu Amir bin Amru” salah seorang sahabat rasulullah SAW. Yang ikut berperang bersama Rasulullah SAW, kecuali perang badar. Datuknya yang pertama yaitu Malik bin Amar dari golongan tabi’in gelarnya ialah Abu Anas.
Fiqih Imam Malik
Imam Malik sangat dikenal dalam dunia fiqih dan hadist. Ilmunya tidak seperti bentuk pemikiran-pemikiran Islam lain yang sezaman dengannya, seperti pemikiran kaum mu’tazilah, Syiah, Qodariyah, dan searah dengan itu, yang tidak ada dalam pandangannya dan pandangan mayoritas kaum muslimin yang terpecaya dan diikuti. Imam malik ini adalah ahli fiqih dan hadist madinah. Ia sangat lurus dalam mengeluarkan hukum-hukum dan memilih jalan yang ia wajibkan untuk dirinya sebagai landasan berfikir dan fiqihnya[8]
Oleh karena itu, yang dijadikannya sebagai sumber pertama untuk fiqihnya ialah Al-Qur’an. Untuk membantunya memahai Al-Qur’an, ia mengaitkannya dengan pengetahuannya yang luas tentang hadistdan sunah. Adapun sumber fiqih dan  penentuan syariat yang kedua diambil dari sunnah Nabi SAW. Sunnah adalah penerang hukum-hukum Al-Qur’an, penjelas lafal-lafalnya, dan penafsir kepetusan-keputusan yang ada didalamnya, yang membutuhkan penjelasan dan penerangan.[9]
Sumber ketiga fiqih Imam Malik adalah perkataan Sahabat karena mereka adalah orang-orang yang paling dekat dengan Rasulullah SAW. Hidup dan hampir semua aktivita mereka sangat erat hubungannya dengan beliau. Mereka menyaksikan perbuatan-perbuatan beliau dan mendengar sabda-saabda beliau. Mereka adalah murid-murid beliau, belajar didepan Beliau. Dalam hal ini Imam Malik tidak membedakan antara sahabat-sahabat muhajirin dan anshar.
Sumber keempat fiqih Imam Malik adalah ijma’, yaitu keputusan yang disepakati oleh para fuqaha dan ulama. Adapun sumber kelima dalam fiqihnya adalah perbuatan-perbuatan yang diamalkan oleh penduduk madinah karena mereka adalah keturunan orang-orang yng menyertai Rasulullah SAW. Alasan yang lain adalah karena hukum-hukum umum itu menetap disatu tempat untuk beberapa generasi.
Jika tidak mendapatkan nash atau dalil yang dekat, Imam Malik menetapkan fiqihnya dengan kias (pengambilan hukum dengan analogi). Istihsan (pengambilan hukum dengan menyimpang dari satu kias ke kias yang lebih kuat),  ‘urf ( pengambilan hukum dari kebiasaan atau adat yang diterima akal), saddudz – dzara’i (pengambilan hukum dengan menghentikan perkara yang sebenarnya diperbolehkan, tetapi membawa kemudharatan), dan al-mashalih al-mursalah (pengambilan hukum suatu perkara yang tidak ada usul yang menerangkannya, tetapi ada suatu arti memberitahukan sebuah hukum yang bertentangan dengan akal)[10].
      Ada hal yang penting untuk disebutkan berkaitan dengan fatwa-fatwa Imam Malik, yaitu ia tidak pernah bercepat-cepat menyampaikan pendapatnya tentang hal-hal yang ditanyakan kepadanya. ia selalu mempelajari masalah itu dengan cermat dan teliti.
Mazhab Imam Malik
      Dasar Mazhabnya kitab Allah ( Al-Qur’an , sunnah Rasul yang telah beliau pandang sah, ijma’ para ulama madinah,  tetapi kadang-kadang beliau menolak hadist apabila ternyata berlawanan atau tidak diamalkan oleh para Ulama madinah, Qiyas, Istishlah ( mashalihul mursalah ), istishlah adalah mengekalkan apa yang telah ada karena suatu hal yang belum diyakini. Adapun mashalihul mursalah ialah memelihara tujuan-tujuan syara’dengan jalan menolak segala sesuatu yang merusak makhluk. Demikanlah dasar-dasar yang diambil oleh Imam Maliki[11].




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dapat dikatakan bahwasanya Mazhab Fiqih  Maliki dan Syafi’i berbeda. Dasar mazhab Imam Maliki adalah :
1.       Al-qur’anul karim
2.       sunnah Rasul yang dipandang beliau sah
3.       Ijma’ para ulama madinah
4.       Qiyas
5.        Isthislah ( Mashalul Mursalah )
Sedangkan dasar Mazhab Syafi’i adalah :
1.      Al Quranul Karim
2.      Sunnah
3.      Ijma’
4.      Qiyas
      Imam Syafi’i tidak mengambil istihsan karena menurutnya bahwa ijtihad dengan metode istihsan itu tidak berdasarkan pada dasar syariat atau nash dari Al-Qur’an dan sunnah. Oleh karena itu, ijtihad tersebut batal, selanjutnya kesimpulannya juga batal.


[1] Muhammad Musthafa  Syak’ah, Islam Tanpa Mazhab,(solo:Tiga serangkai,2008), h. 558
[2]Ahmad  Asy-syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, (Jakarta:Amzah,2004), h. 155
[3] Ibid., h. 156
[4] Muhammad Musthafa  Syak’ah,Op.cit, h.582
[5] Abdul Wahhab Khallaf,kaidah-kaidah hukum islam ilmu Ushul fiqh, (Jakarta:Pt raja grafindo prsada,2000), h. 122
[6] Ahmad  Asy-syurbasi,Op.cit, h. 159
[7] Ibid,. h. 71
[8] Muhammad Musthafa  Syak’ah,Op.cit, h. 547-548
[9] Ibid,. h. 548
[10] Ibid,. h. 549
[11] Ali M. Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Pt Rajagrafindo Persada, 2002), h. 199

Tidak ada komentar:

Posting Komentar