BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Muhammad Idris As-Syafi’i
Imam
Syafi’i dilahirkan dikota Ghazzah Dalam Palestina pada tahun 105 Hijjriah.
Tarikh inilah yang termasyhur dikalangan ahli sejarah. Ada pula yang mengatakan
beliau dilahirkan di Asqalan yaitu sebuah wilayah yang jauhnya dari Ghazzah
lebih kurang tiga kilometer dan tidak jauh juga dari Baitul Maqdis, dan ada
juga pendapat yang mengatakan beliau dilahirkan dinegeri Yaman.
Yakut
menceritakan bahwa Imam Syafi’i pernah menceritakan : aku dilahirkan dinegeri
Yaman, ibuku bimbang aku tidak terurus, lalu dibawaku ke makkah, umur ku pada
waktu itu kurang lebih 10 tahun.
Baca Selengkapnya
Untuk menyatukan antara pendapat-pendadapat tersebut di atas pernah
dikatakan bahwa beliau dilahirkan di Ghazzaah dan dibesarkan di asqalan, dan
penduduk Asqalan semuanya dari kabilah orang Yaman, dan inilah maksud bagi
mereka yang mengatakan beliau dilahirkan di Yaman. Yakut telah menceritakanketiga
riwayat tersebut kemudian katanya : tidak menjadi syak lagi bahwa Imam Syafii
dilahirkan di Ghazzah, kemudian beliau berpindah ke asqalan dan tinggal disana
sehingga remaja.
Nasab Keturunan Imam Syafi’i
Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas
bin Utsman bin Syafi’i bin As-Sya’ib Al-Qurasyi yang dikenal sebagai Imam
Syafi, seorang yang cirri-ciri dirinya diidentifikasikan dengan perkataan
agung, “Ulama Quraisyi yang ilmunya memenuhi semua permukaan bumi.
Dilihat dari segi waktu hidupnya, dia adalah imam ketiga dari imam
empat yang terkenal. Akan tetapi, Imam Syafii diwaktu yang sama menjadi
penengah yang menyimpulkan mereka karena ia memiliki jiwa yang senantiasa
berkembang dan baru. Selain itu, disebabkan pula oleh pemikiran-pemikirannya
dalam keputusan-keputusan fiqihnya, penanganannya dalam perkara-perkara agama, penelitiannya
terhadap masalah-masalah yang diperdebatkan, dan keagresifannya terhadap
bermacam-macam bentuk ilmu yang ada di zamannya[1].
Fiqih Imam
Syafi’i
Ilmu
fiqih Yang dibawa oleh imam syafii’i
adalah merupakan suatu zaman perkembangan fiqih dalam sejarah perundangan
islam, oleh karena itu ia mengumpulkan atau menyatukan ilmu fiqih ahli-ahli
akal dan fikih dengan ilmu fiqih ahli-ahli akal dan hadis ilmu fiqih imam
syafi’I merupakan ikatan sunnah dengan
kias dan pemikiran dengan beberapa pertimbanngan, sebagaimana juga adalah ilmu
fiqih yang menetapkan cara-cara atau peraturan untuk memahami Al-Qur’an dan
hadis, dia juga menetapkan kaidah-kaidah pengeluaran hukum dan kesimpulanya,
oleh karena itu beliau berhak dianggap sebagai penulis ilmu Ushul Fiqih[2]
Ilmu fiqih dan mazhab Imam
Syafii menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber yang pertama dalam menetapkan
hukum-hukum dan perundangan, kemudian beliu berkata bahwa As-Sunnah adalah
menyamai taraf Al-Qur’an, karena dia penerang dan penafsir dalam AL-Qura’an,
oleh sebab itu beliau menganggapnya
sebagai sumber yang kedua setelah Al-Qur’an. Apabila didapati hadis yang
benar disisnya beliau mengikutinya, beliau pernah berkata : Adakah bagi
seseorang lain hujjah terhadap Rasulullah ? dan beliau berkata : Apabila hadis itu benar (sah) maka ia adalah
mazhabku[3].
Oleh karena itu imam syafii sangat mengetahui kedudukan hadist-hadist, kita
dapati beliau sangt bersungguh-sungguh untuk menghafal hadist sehingga Ibnu
Farhun pernah berkata di dalam kitab “Ad-Dibajul Madahib” bahwa imam syafii
adalah penghafal (hafiz) dan beliau menghafal kitab Al-Muwatta dalam tempo
Sembilan malam. Sementara Muhammad bin Al-Hasan berkata : jika para ahli hadist
bercakap-cakap maka percakapan mereka melalui lidah syafii.
Fiqih Imam Syafii adalah kombinasi antara
ahli logika, yaitu golongan Abu Hanifah dan fiqih ahli hadist, yaitu golongan
Imam Malik. Pada setiap golongan ini terdapat jalan tersendiri dalam memahami,
menalar, dan mengambil kesimpulan. Ahli logika, yaitu orang-orang yang
berpegang pada teori, debat, kebebasan berfikir , dan penguasaan mencari cela
dalam hadist-hadist dan sunnah yang terbatas. Adapun ahli hadist, yaitu mereka
yang hafal hadist-hadist Rasulullah, menguasai berita-berita, cerita, dan
perbuatan beliau. Akan tetapi, mereka bukan ahli dalam perdebatan dan
pemahaman yang mendalam. Maka wajib bagi
ahli fiqih menguasai penggunaan hadist dan logika secara bersama[4].
Imam Syafii adalah orang yang mempunyai
kemampuan penalaran,debat, diskusi yang baik, dan daya pikir yang cepat,
sebagaimana dapat kita ketahui dari cerita-cerita tentang beliau, selain itu,
beliau juga mengetahui , hadist. Bahkan, dalam hal ini beliau telah
membangunkan orang-orang dari kekangan (pemikiran) sehingga mereka terbangun.
Beliaulah yang menempatkan mereka pada pusat sasaran yang terang sebagaimana
telah dibicaran sebelum ini,. Ringkasnya, beliau adalah penolong hadist dan ini
gelar yang telah di anugerahkan secara tepat, pantas, dan sesuai, oleh ulama
dimasanya kepada beliau. Jadilah Imam Syafii yang menyatukan penguasaan ahli
hadist dan ahli logika. Oleh karena itu, fiqihnya datang dalam gabungan dua
madrasah. Dari sini Imam Syafii dinobatkan sebagai peletak ilmu Ushul Fiqih
yang menjadi acuan dasar madrasahnya dan tiang mazhabnya.
Fiqih Imam Syafii juga mengambail ijma’
sebagai dasar. Hal ini dilakukan karena syariat sendiri menganggapnya sebagai
hujjah yang wajib digunakan. Maka ia menatapkan ukuran-ukuran yang mengaturnya
dan pertimbanganyang menyikap kesalhan tuduhan orang yang berpegang langsung
pdaa hasil, tanpa memiliki bukti kuat atau asas agama mapan. Dengan catatan
bahwa Imam Syafii meletakan Ijma’ ( metode kompromi ) pada tingkatan Al-Qur’an
dan sunnah serta tidak dapat mendahuluinya walaupun misalnya hadist itu hanya
diriwayatkan oleh seorang perawi saja (Hadist ahad).
Fiqih Imam Syafii juga mengambil kias
sebagai dalil. Dalam hal ini, Imam Syafii adalah orang pertama yang berbicara dengan kias ketika
melihat para Fuqaha tidak meletakkan batasan antara logika yang benar dan yang
salah. Maka imam syafii datang mendudukkan kaidah-kaidah untuk penalaran yang
diyakini benar dan yang tidak benar. Oleh karena itu, ia menuliskan
aturan-aturan kias dan tingkatan-tingkatannya, kuatnya fiqih yang diambil dari
kias dan dibandingkan yang diambil dari nas, kemudian beliau menguraikan
syarat-syarat yang wajib dipenuhioleh seorang ahli fiqih yang menggunakan kias.
Ia juga menjelaskan adanya perbedaan yang jelas antara macam-macam istinbath
(pengambilan kesimpulan) dan kias dalam batas-batas yang beliau tuliskan.
Imam Syafii membatalkan istihsan.
Dalam masalah ini beliau menyusun suatu kitab yang berjudul Ibthalul
Istihsan. Istihsan adalah asas yang digunakan Abu Hanifah, seorang imam
pendahulunya. Imam syafii mengatakan bahwa : “Istihsan adalah rasa enak,
seandainya boleh mengambil Istihsan dalam masalah Agama, maka bolehlah
hal itu bagi orang-orang yang punya akal yang bukan ahli ilmu, dan pasti juga
boleh membuat Syariat dalam masalah agama pada setiap bab, sedang
massing-masing orang dapat mengeluarkan hukum syara’ bagi dirinya[5]
Kemudian Imam Syafii menguraikan alasan dan pandangan beliau tentang istihsan,
seorang ahli fiqih yang menggunakan asas istihsan , yang
dilakukannya ialah setelah merujuk pada Al-Qur’an , sunnah, atsar, ijma’, dan
kias. Kadang-kadang yang diambilnya adalah yang dianggapnya baik, bukan
keputusan yang ditinjukkan oleh dalil yang mucul dari Al-Qur’an dan sunnah.
Selain itu, Imam Syafii juga menyampaikan alasan lain yang membatalkan metode istihsan.
Ia menerangkan bahwa ijtihad dengan metode istihsan itu tidak
berdasarkan pada dasar syariat atau nash dari Al-Qur’an dan sunnah. Oleh karena
itu, ijtihad tersebut batal, selanjutnya kesimpulannya juga batal.
Imam syafii sangat berhati-hati dalam
usahanya untuk memilih atau menyempurnakan mazhabnya, disamping itu beliau
adalah seorang yang tinggi ilmu pengetahuan dan tinggi pula cita-citanya.
Dengan kebijaksanaannya beliau mampu menghimpun bermacam-macam ilmu pengetahuan
serta memahaminya dengan bersungguh-sungguh dan teliti.[6]
Mazhab Syafi'i
Dasar madzhabnya: Al Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Beliau juga
tidak mengambil Istihsan (menganggap baik suatu masalah) sebagai dasar
madzhabnya, menolak maslahah mursalah, perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi’i
mengatakan, “Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah menciptakan
syariat,”. Penduduk Baghdad mengatakan, “Imam Syafi’i adalah nashirussunnah
(pembela sunnah)”.
B.
Malik Bin Anas
Imam Malik yang kedua
dari imam-imam empat serangkai dalam Islam dari segi umur. Ia dilahirkan 13
tahun sesudah kelahiran Abu Hanifah. Imam Malik ialah seorang imam dari Kota
Madinah dan imam bagi penduduk Hijaz. Ia salah seorang dari ahli fiqih yang
terakhir bagi kota Madinah dan juga yang terakhir bagi fuqaha Madinah. Beliau
berumur hampir 90 tahun. semasa hidupnya beliau sebagai pejuang demi agama dan
umat islam seluruhnya. Imam Malik dilahirkan pada zaman pemerintahan Al - Walid bin Abdul Malik Al – Umawi
Imam
Malik dilahirkan di suatu tempat yang bernama Zulmarwah di sebelah Utara ‘Al
- Madinatul – Munawwarah’. Kemudian
beliau tinggal di ‘Al – Akik’ buat sementara waktu akhirnya beliau menetap di
Madinah. Bermacam – macam pendapat ahli sejarah tentang tarikh kelahiran Imam
Malik. Ada setengah pendapat yang mengatakan pada tahun 90, 94, 95 dan 97
Hijrah perselisihan tarikh terjadi sejak masa dahulu. Diceritakan bahwa ketika
Ibu Malik mengangdung Malik dalam perutnya selama 2 tahun dan ada pula yang
mengatakan 3 tahun[7].
Nasab Keturunan Imam Malik
Malik bin Anas bin
Malik bin Abi Amir bin Amru bin Ghaiman bin Huthail bin Amru bin Al-Haris.
Datuknya yang kedua “Abu Amir bin Amru” salah seorang sahabat rasulullah SAW.
Yang ikut berperang bersama Rasulullah SAW, kecuali perang badar. Datuknya yang
pertama yaitu Malik bin Amar dari golongan tabi’in gelarnya ialah Abu Anas.
Fiqih Imam Malik
Imam Malik sangat
dikenal dalam dunia fiqih dan hadist. Ilmunya tidak seperti bentuk
pemikiran-pemikiran Islam lain yang sezaman dengannya, seperti pemikiran kaum
mu’tazilah, Syiah, Qodariyah, dan searah dengan itu, yang tidak ada dalam
pandangannya dan pandangan mayoritas kaum muslimin yang terpecaya dan diikuti.
Imam malik ini adalah ahli fiqih dan hadist madinah. Ia sangat lurus dalam
mengeluarkan hukum-hukum dan memilih jalan yang ia wajibkan untuk dirinya
sebagai landasan berfikir dan fiqihnya[8]
Oleh karena itu, yang
dijadikannya sebagai sumber pertama untuk fiqihnya ialah Al-Qur’an. Untuk
membantunya memahai Al-Qur’an, ia mengaitkannya dengan pengetahuannya yang luas
tentang hadistdan sunah. Adapun sumber fiqih dan penentuan syariat yang kedua diambil dari
sunnah Nabi SAW. Sunnah adalah penerang hukum-hukum Al-Qur’an, penjelas
lafal-lafalnya, dan penafsir kepetusan-keputusan yang ada didalamnya, yang
membutuhkan penjelasan dan penerangan.[9]
Sumber ketiga fiqih
Imam Malik adalah perkataan Sahabat karena mereka adalah orang-orang yang
paling dekat dengan Rasulullah SAW. Hidup dan hampir semua aktivita mereka
sangat erat hubungannya dengan beliau. Mereka menyaksikan perbuatan-perbuatan
beliau dan mendengar sabda-saabda beliau. Mereka adalah murid-murid beliau,
belajar didepan Beliau. Dalam hal ini Imam Malik tidak membedakan antara
sahabat-sahabat muhajirin dan anshar.
Sumber keempat fiqih
Imam Malik adalah ijma’, yaitu keputusan yang disepakati oleh para fuqaha dan
ulama. Adapun sumber kelima dalam fiqihnya adalah perbuatan-perbuatan yang
diamalkan oleh penduduk madinah karena mereka adalah keturunan orang-orang yng
menyertai Rasulullah SAW. Alasan yang lain adalah karena hukum-hukum umum itu
menetap disatu tempat untuk beberapa generasi.
Jika tidak mendapatkan
nash atau dalil yang dekat, Imam Malik menetapkan fiqihnya dengan kias
(pengambilan hukum dengan analogi). Istihsan (pengambilan hukum dengan
menyimpang dari satu kias ke kias yang lebih kuat), ‘urf ( pengambilan hukum dari kebiasaan atau
adat yang diterima akal), saddudz – dzara’i (pengambilan hukum dengan
menghentikan perkara yang sebenarnya diperbolehkan, tetapi membawa
kemudharatan), dan al-mashalih al-mursalah (pengambilan hukum suatu
perkara yang tidak ada usul yang menerangkannya, tetapi ada suatu arti
memberitahukan sebuah hukum yang bertentangan dengan akal)[10].
Ada hal yang penting untuk disebutkan
berkaitan dengan fatwa-fatwa Imam Malik, yaitu ia tidak pernah bercepat-cepat
menyampaikan pendapatnya tentang hal-hal yang ditanyakan kepadanya. ia selalu
mempelajari masalah itu dengan cermat dan teliti.
Mazhab Imam Malik
Dasar Mazhabnya kitab Allah ( Al-Qur’an
, sunnah Rasul yang telah beliau pandang sah, ijma’ para ulama madinah, tetapi kadang-kadang beliau menolak hadist
apabila ternyata berlawanan atau tidak diamalkan oleh para Ulama madinah,
Qiyas, Istishlah ( mashalihul mursalah ), istishlah adalah mengekalkan apa yang
telah ada karena suatu hal yang belum diyakini. Adapun mashalihul mursalah
ialah memelihara tujuan-tujuan syara’dengan jalan menolak segala sesuatu yang
merusak makhluk. Demikanlah dasar-dasar yang diambil oleh Imam Maliki[11].
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dapat
dikatakan bahwasanya Mazhab Fiqih Maliki
dan Syafi’i berbeda. Dasar mazhab Imam Maliki adalah :
1.
Al-qur’anul karim
2.
sunnah Rasul yang dipandang beliau sah
3.
Ijma’ para ulama madinah
4.
Qiyas
5.
Isthislah ( Mashalul Mursalah )
Sedangkan dasar Mazhab Syafi’i adalah :
1.
Al
Quranul Karim
2.
Sunnah
3.
Ijma’
4.
Qiyas
Imam Syafi’i tidak mengambil istihsan karena
menurutnya bahwa ijtihad dengan metode istihsan itu tidak berdasarkan
pada dasar syariat atau nash dari Al-Qur’an dan sunnah. Oleh karena itu,
ijtihad tersebut batal, selanjutnya kesimpulannya juga batal.
[1]
Muhammad Musthafa Syak’ah, Islam
Tanpa Mazhab,(solo:Tiga serangkai,2008), h. 558
[2]Ahmad Asy-syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat
Imam Mazhab, (Jakarta:Amzah,2004), h. 155
[3]
Ibid., h. 156
[4]
Muhammad Musthafa Syak’ah,Op.cit, h.582
[5]
Abdul Wahhab Khallaf,kaidah-kaidah hukum islam ilmu Ushul fiqh,
(Jakarta:Pt raja grafindo prsada,2000), h. 122
[6]
Ahmad Asy-syurbasi,Op.cit, h. 159
[7]
Ibid,. h. 71
[8]
Muhammad Musthafa Syak’ah,Op.cit, h.
547-548
[9]
Ibid,. h. 548
[10]
Ibid,. h. 549
[11]
Ali M. Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Pt Rajagrafindo Persada,
2002), h. 199
Tidak ada komentar:
Posting Komentar